Lanjut ke konten

Melegalisasi Maksiat dengan Syariat

September 27, 2008

Maka, tanpa merasa berdosa adegan yang dilihat semalam dalam layar kaca, siangnya dipraktikkan generasi muda kita, di sekolahan atau kampus dan pinggir jalan. Dari sini perlu adanya proteksi terhadap film yang tidak mendidik dan penonton harus menyikapi setiap adegan film dengan akal sehat, misalnya Kawin Kontrak yang berusaha membohongi remaja untuk melegalisasi maksiat berkedok syariat.

Ody G. Harahap membuka adegan film besutannya, Kawin Kontrak, dengan memotret realitas kebejadan remaja (baca: sosial), merayakan kelulusan SMU; corat sana-coret sini. Ia meneruskan adegan film itu dengan aksi salah seorang siswa yang sejak lama kesengsem dengan (maaf) body sang ibu guru. Berlagak bloon siswa itu mengucapkan terima kasih pada ibu guru karena sudah membimbingnya selama bertahun-tahun. Tanpa diduga siswa itu memeluknya. Tak ayal lagi ibu guru menjerit histeris agar dilepaskan. Murid itu malah bertambah erat mendekapkan pelukannya.

Melihat model pembukaan seperti itu hati saya bertanya, apakah film ini adalah cermin ”kejujuran” sang pembuat atas realitas di sekitarnya (dan dunia pendidikan kita!!!) atau terdapat ”titipan?”

Melihat adegan demi adegan berikutnya. Saya semakin curiga. Setelah mendengarkan ceramah Pak Kiai, tiga teman karib bermusyawarah mencari solusi agar tidak dosa melakukan hubungan (layaknya) suami-istri. Akhirnya, salah satu dari mereka menawarkan jalan pintas, kawin kontrak.

Ahh… jangan-jangan film ini (titipan) syiahisasi (upaya menyebarkan ajaran syiah), hatiku syu’udzon.

Dengan bantuan Om Sesek ketiga remaja itu menemui Kang Sono di Puncak, Bogor ”mat jomlang” berkedok penyedia jasa tour and travel yang bisa ”menjodohkan” mereka dengan ”calon istri.” Sampai di sini hati saya berbisik, sikapi Kawin Kontrak dengan akal sehat. Otak saya berputar mencari jawaban, kenapa gunting badan sensor nasional begitu tumpul sehingga film cabul semacam itu bebas dikonsumsi masyarakat? Saya tidak bisa menerka jawaban yang mendekati jawaban.

Penulis teringat dua tahun silam– ketika negeri pertama saya meributkan soal perlu tidaknya RUU APP– statement seorang ulama yang juga (sudah tentu) bergelar kiai haji dan mantan orang nomor wahid di Indonesia, Gus Dur, dan istrinya, Ny Nuriah Abdurahman Wahid. Suami-istri itu menyatakan tidak perlu ada RUU APP karena soal pornografi dan pornoaksi cukup diserahkah masyarakat.

Oups!!! Semua perlu berpikir dengan akal sehat nan jernih: logiskah masalah pornografi dan porno aksi diserahkan per individu? Dan, selesaikah masalahnya? Jawaban kita, tidak.

Justru untuk menangkal virus masyarakat terganas ini memerlukan– meminjam istilah antivirus — software yang tidak main-main (dalam pembuatan dan penerapannya!!!), yaitu undang-undang. Saya yakin masyarakat tidak akan bisa menyelesaikan masalah pornografi dan pornoaksi. Sebaliknya, mereka malah akan menambah deretan kasus sekitar masalah ini. Dengan alasan suka sama suka atau kebebasan berekspresi perzinahan menjadi legal dan pornoaksi (baca:pamer aurat) merajalela.

Logikanya, pejabat yang terbukti korup, selain kehilangan jabatannya juga mendapat bonus menginap di hotel prodeo. Nah, untuk menyeret mereka itu aparat keamanan punya payung hukum, yakni undang-undang. Tanpanya, aparat kepolisian tidak bisa menyeret bapak-bapak nakal itu ke meja hijau. Korupsi dan antek-anteknya tidak akan pernah bisa selesai jika diserahkan pada ”masyarakat” (pejabat yang korup itu). Sudah tentu, jika diserahkan pada ”masyarakat”, maka mereka melegalkan perbuatan mencuri uang rakyat. Begitu juga dengan pornografi dan pornoaksi. Logis bukan?

Melihat film itu, saya hanya bisa berandai-andai, bila dulu para tokoh masyakarat kita mau berbicara jujur, berbicara dari hati nurani bukan dilatari kepentinan golongan atau ego perorangan, saya yakin film dengan setting ”Kampung Zina” (baca: Sukasarerehan) tidak akan pernah ada. UU APP mendeteksinya. Kemudian, menghapusnya dari jadwal tayang atau paling tidak ada bagian tertentun yang menjadi korban tajamnya gunting badan sensor.

***

Dalam ilmu psikologi apabila seseorang (atau golongan) melihat (apalagi melakukan !!!) sesuatu secara terus-menerus selama, minimal, dua puluh kali, maka hal itu akan dianggap biasa. Tidak melanggar asusila. Dan realitas semacam itu sudah lama menjamur di nusantara. Televisi dengan bebas menayangkan adegan ciuman. Pemerintah (dalam konteks ini lembaga yang berkaitan dengan penyiaran, misalnya badan sensor) diam saja.

Maka, tidak heran tanpa merasa berdosa adegan yang dilihat semalam dalam layar kaca, siangnya dipraktikkan generasi muda kita. Mereka menganggap itu hal biasa. Dari sini lah perlu adanya, selain UU APP juga, proteksi terhadap film yang tidak mendidik dan penonton perlu menyikapi setiap adegan dengan akal sehat. Misalnya, film Kawin Kontrak yang berusaha mengajak remaja untuk melegalisasi maksiat berkedok syariat, ”Makanya kita kawin kontrak biar lo nggak dosa. Kan nikah dulu. Jadi, sah!” begitu salah satu kutipan film buatan MVP Pictures itu.

Menurut hemat saya, sudah semestinya ada undang-undang yang mengatur (baca: membatasi) pornografi dan pornoaksi– termasuk adegan film yang tidak mendidik. Tanpa adanya undang-undang, kutu-kutu tersebut akan terus menggerogoti mental masyarakat yang sedang mengalami dekadensi moral ditengah krisis mutli dimensi. Dengan adanya undang-undang, diharapkan salah satu persembahan Ram Punjambi tersebut (dan sejenisnya) tidak pernah muncul di layar kaca.

Stop!!! kita tidak sedang mendiskusikan masalah yang sudah basi itu, tetapi sedang berduka dengan dunia perfilman yang condong berbelok ke arah pornoisasi dan jauh dari mendidik.

Kawin Kontrak pasti bukan satu-satunya film yang membodohi masyarakat. Tentu masih banyak lagi film-film ditanah air yang memamerkan syahwat dan/ atau adegan yang membodohi remaja Indonesia. Misalnya, sebut saja, film Jomblo menjelang detik-detik terakhir Doni, dalam film yang tayang selama delapan episode itu, menyatakan, ”Lebih baik mematahkan (memutuskan cinta, pen) dari pada disakiti.” Kalimat itu menyebarkan virus yang tidak bisa diangap remeh, bila menggerogoti mental remaja kita. Akibatnya fatal sekali.

Akibat termakan kalimat di atas, berapa play boy bermunculan dan gadis patah hatinya dipermainkan cinta. Sudah menjadi realitas bahwa ketika seorang tertekan pelbagai problematika kehidupan (termasuk akibat putus cinta) pelarian mereka adalah obat-obatan atau teler. Hanya orang-orang beriman baja yang ”lari” pada hamparan sajadah dan muhasabah (instropksi). Jika sudah begini apakah harus diserahkan ke masyarakat?

* Penulis alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa International Islamic Call College Tripoli, Libya. Pemimpin redaksi majalah Al Ukhuwwah, buletin Sahara, dan mantan redaktur Misykat. Lebih lengkap tentang penulis klik: http://jokotingkir.co.nr.

di muat di http://lirboyo.com/index.php?req=detil_artikel&id=51

No comments yet

Tinggalkan komentar