Lanjut ke konten

Redupnya Nur Muhammad, Hancurnya kemanusiaan dan Kebangsaan

September 28, 2008

Oleh Dr. K.H. Ahmad Najib Afandi, MA*)

Mukadimah

Sejarah mencatat betapa suramnya dunia selama beberapa abad lamanya dan manusiapun terbelenggu dalam kebodohan, ketertinggalan dan kenistaan hidup, hancur tak bernilai, itulah era jahiliyah. Manusianya cerdas, memiliki kemampuan berkreasi, semangat dan etos kerja yang tinggi sehingga mampu membangun peradabannya yang khas, kultur jahiliyah. Namun demikian tetap saja kekerasan, pertikaian, pembunuhan dan perzinahan juga lainnya menjadi citra kehidupan mereka yang tercatat tinta emas sejarah.

Jahiliyah, banyak orang salah mengartikannya. Mereka bukanlah orang yang bodoh buta aksara, justru mereka mampu membuktikan kemampuannya dalam menyusun huruf dan bahasa yang indah dan tinggi nilai sastranya. Hal itu dapat kita buktikan dengan lahirnya sastrawan besar Jahiliyah Imriil Qais dan lainnya. Syair-syairnya hingga kini masih menjadi refrensi mutlak bagi para ahli nahwu, shorof, mantiq dan balagoh bahkan ahli tafsir sekalipun. Mereka tidak bodoh, namun tetap jahiliyah? Karena kecerdasan dan kemajuan tidak selamanya identik dengan keluhuran. Begitu juga kemajuan tidak selalu memberikan makna keberhasilan pembangunan manusia yang sesungguhnya.

Maka apakah dunia saat ini berada pada puncak kemajuan atau kehancuran dan apa sebabnya? Dan jika era jahiliyah telah berlalu hampir dua abad yang lalu, apakah era itu akan kembali?

Maulid dan kebangkitan kemanusiaan.

Maulid adalah istilah yang hanya dimiliki oleh Rasulullah yang digunakan untuk memperingati kelahirannya. Maulid yang berasal dari bahasa arab (ولد) berarti lahir, kelahiran atau lahirnya manusia kedunia adalah simbol kemurnian, kesucian diri dan awal kehidupan yang baru dan penuh dengan harapan dan cita-cita bagi dirinya maupun orang lain. Maulid Nabi adalah kelahiran Nabi Muhammad Rasul Allah yang terakhir yang menjadi simbol kebangkitan dunia dan kemanusiaan yang setelah sekian lama terpasung dalam keterpurukan diri dan hidup yang tidak memiliki keluhuran dan nilai-nilai kemanusiaan, jahiliyah.

Sementara jahiliyah adalah simbol kemunduran dunia dan kemanusiaan yang sesungguhnya. Yaitu rentang waktu antara 100-150 tahun sebelum datangnya Islam (lihat: Al Adab Al Arabi, Asr Al Jahili: Dr. Syauqi Dhaif) karena pada masa itu masih banyaknya temuan benda-benda kuno, literatur sastra pada kayu, kulit hewan, batu dan lainnya yang menjadi bukti adanya peradaban jahiliyah. Pendapat lain mengatakan semua masa sebelum Islam adalah jahiliyah, tapi pendapat ini tidak didukung dengan bukti sejarah. Apapun pendapat ahli sejarah dan ahli sastra arab tentang batasan waktu yang disebut jahiliyah mereka sepakat untuk mengatakan bahwa masa itu adalah masa yang penuh dengan berbagai corak kemunduran, kehancuran, dekadensi moral, kehidupan rimba dan hidup yang tidak terpimpin. Dan semua itu merupakan akumulasi total dari kehidupan dan kemanusiaan yang tanpa pemimpin, agama dan hukum. Sehingga mereka mencari kekuatan-kekuatan lain untuk memenuhi insting dan naluri kemanusiaanya yang butuh terhadap pelindung dan kekuatan yang mutlak, sesuai kepercayaan masing-masing. Maka lahirlah “Latta”, “Uzza” dan “Manat” yang mereka anggap sebagai tuhan yang telah meciptakan, mengatur dan melindungi mereka. Padahal tiga “tuhan” itu tiada lain adalah pohon tua yang kemudian dipotong oleh Sayidina Umar seraya berkata:

كفرانك لاسبحانك إني رأيت الله قد أهانك

Bukan karena kesucianmu lalu disembah tapi karena kamu telah membuat kekufuran. Dan karena keyakinanku bahwa Allah telah mengutukmu, maka aku memotongmu.

Tumbangnya Latta, Uzza dan Manat tiga pohon tua yang dianggapnya sebagai tuhan belum dapat meredam gerakan animisme dan lainnya yang telah menjerumuskan banyak manusia kedalam pendangkalan akidah, justru semakin menambah tumbuhnya aliran dan kepercayaan yang semakin gila, seperti: wanita adalah simbol kegagalan hidup sehingga harus dibunuh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya akan menjadi harta warisan, membuat asnam, watsan dan nasob dengan nama dan ukuran yang berbeda untuk setiap kabilah.

Walaupun masa itu secara intelektual maju baik dalam bidang perdagangan, ekonomi, pertanian, bahasa dan sastra, dan ilmu perang juga lainnya. Tapi semua itu tidak bisa merubah dan mengangkat martabat dan kedudukan manusianya, mereka semua adalah penyembah berhala, budak nafsu dan dunia yang dimurkai Allah. Karena secara psikologis mereka terpasung dalam kekosongan jiwa dan pikiran rasionil dalam menghadapi dan membangun kehidupan atau menyelesaikan masalah. Lihat saja setiap kali membuat keputusan atau mengadakan kegiatan yang mereka ajak bicara adalah bulan, matahari, pohon, batu dan gunung dengan melakukan ritual khusus, bukan akal, atau hati dan imannya. Itu semua jelas merupakan bukti kekeringan dan kekosongan jiwa yang haus akan kebenaran dan keyakinan terhadap kekuatan yang mutlak, Allah. Artinya jiwa-jiwa mereka sepi, jauh dan tidak pernah tersiram segarnya iman dan beningnya akidah. Maka jadilah mereka orang-orang yang mati dalam hidupnya, hancur sebelum hancurnya, kegelapan dalam terangnya hidup. Seperti saat ini.

Allah yang maha mengetahui tidak saja membiarkan kondisi manusia dan dunia seperti itu, Allah tidak rela dunia yang seharusnya menjadi pentas kebajikan dan amal saleh menjadi arena dosa. Dan Allah mengetahui kehausan mereka atas kebenaran, kebutuhan mereka terhadap pemimpin, keinginan mereka untuk hidup sejahtera aman dan damai tanpa pertumpahan darah, keingintahuan mereka terhadap pencipta alam semesta yang maha kuasa yang dapat menjadi sandaran hidupnya. Karenanya jauh-jauh sebelum kedatangan Rasulullah Muhammad SAW. Allah telah menyampaikan kabar gembira kepada mereka melalui Taurat, Injil dan Zabur tentang akan lahirnya pemimpin dunia yang menjadi utusan Allah yang terakhir dengan membawa segala kebutuhan yang selama ini mereka cari. Dari fakta itulah kemudian Allah menyatakan bahwa Muhammad diutus hanya untuk mereformasi dunia:

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين (الأنبياء:107)

Dan Rasulullah sendiri menegaskan bahwa dirinya diutus hanya untuk mereformasi ahlak manusia. Itu artinya betapa hebat efek kejadian dekadensi moral yang terjadi sebelum kelahirannya:

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق.

Walaupun itu bukan ucapan yang pertama diucapkan oleh beliau setelah diangkat menajdi rasul, tapi sudah bisa menjadi acuan pokok bagi kita apa sebenarnya yang akan menjadi misi perjuangannya. Dan kitapun mafhum jawabannya kenapa ahlak yang menjadi konsentrasi dakwahnya? Bahwa kehadirannya di dunia sebagai jawaban atas peristiwa dan malapetaka kemanusiaan yang terjadi sebelumnya, jahiliyah. Ini berarti jelas kelahiran Rasulullah sebagai rahmat bagi kebangkitan dunia, manusia dan terciptanya kedamaian di atas bumi.

Kebangkitan, kedamaian, kemanusiaan dan keadilan benar-benar tercipta setelah tiga puluh dua tahun lebih Rasulullah berdakwah di wilayah pusat kemurtadan dan kemusrikan (Makah, Madinah dan sekitarnya) dengan agama Islam (yang lurus) dan keramahan, kejujuran, kasih sayang, keikhlasan dan dengan segala keluhurannya Rasulullah mampu menjadi simbol kehidupan baru dan kemanusiaan yang sesungguhnya.

Redupnya Nur Muhammad Bangkitnya Neo Jahiliyah.

Kini nur Muhammad itu telah redup dunia dan manusia telah kembali ke era jahiliyah. Kini kehidupan, keluarga, cara kerja dan semua gerak hidup manusia mulai dari anak-anak dan orang tua sudah tidak lagi mencerminkan nilai-nilai ke-Muhammad-an. Semua itu tidak lain akibat faktor manusia, antara lain:

Pertama: Orang sudah tidak lagi menganggap penting mempelajari tauhid sehingga menjadi mudah terpengaruh dengan berbagai nalar dan pemikiran keagamaan yang menurutnya bagus dan menarik, padahaal menyesatkan. Begitu juga mereka sudah menganggap kuno dan tidak lagi penting mempelajari sirah Nabawiyah atau biografi Rasulullah (berbeda dengan tarihk Islam) dan para keluarga serta sahabatnya. Padahal ini kunci kekuatan akidah dan kecintaan anak kepada Allah, Islam dan ajarannya. Karena itulah Rasulullah bersabda:

أدبوا أولادكم على ثلاث خصال حب نبيكم وحب أهل بيته وقراءة القرآن فإن حملة القرآن في ظل الله يوم لاضل إلا ظله مع أنبياء الله وأصفيائه ) رواه ابو النصر عبد الكريم بن محمد الشيرازي في فوائده وابن النجار في تاريخه عن علي رضي الله عنه

Artinya: Didiklah anak-anakmu tiga hal: Mencintai Nabi, mencintai keluarganya dan yang terakhir belajar Al Qur’an.

Kenapa belajar Al Qur’an diakhirkan dan mencintai Nabi dan keluarganya didahulukan? Karena dengan mencintai mereka akan tumbuh kecintaan yang selanjutnya akan berubah menjadi kekuatan diri dalam membentuk peribadi yang saleh. Sehingga segala kewajiban seperti belajar Agama dan lainnya akan menjadi mudah. Itulah Nur Muhammad.

Kedua: Hilangnya sifat-sifat keluhuran seperti kejujuran atau As sidq, Al Adl (keadilan), Al Haya (malu), dan sifat-sifat luhur lainnya yang menjadi simbol kebesaran dan keberhasilan dakwah Rasulullah dan yang selalu ia ajarkan dan tanamkan kepada para sahabat dan ummatnya, kini telah musnah. Dengan sifat malunya Rasulullah mampu menjaga kebenaran dan menghindarkan diri dari kesalahan.

Tapi kini mulai dari anak-anak sampai pejabat sudah tidak lagi memiliki sifat malu. Akibatnya kemaksiatan dan korupsi, keluar masuk penjara, membuka aurat, bermesraan di depan oran lain dianggapnya sebagai kebenaran dan kebutuhan dan gaya hidup masa kini yang harus terpenuhi. Padahal sesungguhnya perbuatan tidak malu dengan dosa adalah bukti bahwa orang itu berada pada ujung kehancuran, Rasulullah bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الحياء والإيمان قرناء جميعًا، فإذا رفع أحدهما رفع الآخر. الإتحافات السنية بالأحاديث القدسية – ج 1 / ص 146

Sifat malu dan iman adalah dua saudara kembar, jika hilang satu maka hilang semuanya. Ini artinya sifat malu adalah bukti keimanan yang akan bisa menjadi bukti keluhuran seseorang baik dihadapan Allah dan orang lain.

Bahkan dalam hadist yang lain Rasulullah menjelaskan bahwa sifat malu adalah simbol keislaman seseorang artinya orang yang tidak memiliki malu berarti ia menghancurkan islam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لكل دين خلق وخلق الإسلام الحياء. التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد – (ج 21 / ص 141

Jika sifat malu sudah tidak kita miliki hancurlah dunia dan manusia, dan itu artinya generasi kita sekarang ini telah kembali berada di era jahiliyah.

Ketiga: Hilangnya sifat sabar. Padahal sifat ini telah dicontohkan dan diterapkan oleh Rasulullah selama menghadapi hidup dan dakwahnya yang selalu didera kesusahan dan tantangan, lalu kita juga membuktikan keberhasilannya.

Kini kesabaran itu sudah hampir hilang dalam kehidupan kita. Kebutuhan hidup kita baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan manusia selalu didasari dengan kemauan “kun Fayakun” atau serba instant. Jika berdo’a kepada Allah selalu ingin cepat diterima, jika tidak orang akan segera mengambil jalan pintas dengan bantuan dukun. Begitu juga ketika mencari nafkah, usaha dan bekerja ingin cepat kaya. Jika tidak terwujud mereka akan segera mencari jalan pintas baik dengan cara memusyrikan Allah seperti, membeli tuyul pesugihan dan lainnya.

Bahkan dalam soal mencari ilmu atau belajar orang kini sudah tidak lagi mau bersabar, sehingga dipililah cara pintas dengan membeli ijazah. Padahal pendidikan orientasinya bukan itu tapi ilmu dan amal serta ahlak.

Dari akibat itu semua kini hancurlah nilai-nilai kemanusiaan, Negara dan masyarakat sehingga mengakibatkan banyak orang menjadi “gila” (harta, jabatan, wanita dan kemewahan) dan negarapun menjadi tidak bermartabat. Gaya hidup ini jelas-jelas bertentangan dengan semangat kemanusiaan yang dibawa oleh Rasulullah. Dan sesungguhnya semua itu bukti bahwa kini kita berada di era jahiliyah gaya baru atau neo jahiliyah. Dunianya maju, manusianya terdidik tapi sepi dari nilai-nilai akidah, ahlak dan syariah, inilah jahiliyah jilid kedua.

Dari fakta kebesaran, keluhuran diri dan kesuksesan Rasulullah sebagai pemimpin yang juga manusia biasa, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa untuk mengembalikan dan membangun kembali manusia dan kemanusiaan, ketenteraman hidup dan perdamaian dunia dari kehancuran kita harus kembali menggali dan memahami hikmah maulid dari berbagai aspeknya. Dengan menggali hikmah maulid dan memahaminya InsyaAllah nur Muahmmad akan tetap menyinari hidup kita sehingga dunia dapat kembali bangkit. Karena sesungguhnya Rasulullah lahir dan diutus tidak lain hanya sebagai rahmat bagi sekalian alam. Reaktualisasi Maulidan.

Banyak pula orang mengartikan peringatan maulid Nabi dengan pengertian yang salah, yaitu pesta peringatan hari kelahiran Nabi di bulan Rabiul Awal. Sesungguhnya yang dikehendaki dengan peringatan maulid adalah pembacaan, pemahaman dan penyegaran ulang terhadap nilai-nilai keperibadian dan semangat juang Rasulullah yang harus kita contoh dan kita agungkan. Maulid berarti mengikuti, mengamalkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dalam setiap saat, waktu dan masa. Maulid sesungguhnya tidak terbatas waktu, hari, bulan dan tahun, tapi sepanjang hayat.

Karenanya pantas kalau ulama berbeda pendapat tentang hukum pesta maulid ada yang mengatakan haram (bid’ah) dan ada pula yang mewajibkan, karena mereka melihat dari formalitas pragmatisnya. Namun jika melihat dari sisi normatif dan substansi maulid semua ulama sepakat bahwa pelaksanaan maulid Nabi adalah wajib ‘ain (personal).

Keagungan Rasulullah bukan saja dimata ummatnya tapi telah mencapai wilayah ketuhanan dan malaikat, Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [الأحزاب/56

Sungguh ini legitimasi nyata bahwa Rasulullah adalah manusia yang luar biasa yang telah mendapatkan posisi terhormat dihadapan penciptanya dan mahluk-Nya yang paling mulia, Malaikat. Allah mengaplikasikan hormat-Nya kepada Muhammad dengan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya yang tidak bertepi. Begitu juga para Malaikat selalu mendoakannya dihadapan Allah. Itulah arti ayat di atas.

Kalau Allah dan Malikat saja ikut “mengadakan” maulid Nabi dengan pengertiaan khusus, dan itu bukan tanpa ada tujuan dan maksud. Maka sudah sepatutnya jika mualidan (dengan pengertian di atas) diwajibkan bagi kita dan itu jelas akan memberikan makna yang besar bagi kita dan dunia bahkan alam semesta.

Maulidan yang sebenarnya kita lakukan adalah implementasi riil atas segala ajaran dan syariat Islam dalam hidup kita. Karena maulidan adalah kunci mendapatakn berkah dan manfaat bagi kedamaian hidup kita dan sekaligus sebagai legalitas keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ . آل عمران/31

Ayat ini diturunkan ketika pada masa Rasulullah orang-orang mengaku ia mencintai Allah, kemudian Allah menyuruh Nabi Muhammad agar menguji kebenarannya: Katakanlah kepada mereka hai Muhammad, jika engkau mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintaimu.

Itu artinya mengikuti ajaran Nabi Muhammad (maulidan) adalah kunci awal mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup, terbentuknya komunitas yang bebas dari angkara murka dan derita.

Dapat kita bayangkan jika hidup kita di dunia ini tanpa kasih sayang Allah, karena tidak mengikuti ajaran Rasulullah (maulidan), maka dunia ini akan terasa sempit jauh dari keadilan dan perdamaian dan tentu tidak lagi ada kasih sayang diantara kita. Allah berfirman:

وَلَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ الْعَذَابُ وَهُمْ ظَالِمُونَ [النحل/113]

Dalam ayat ini Allah menceritakan nasibnya kaum yang disiksa dengan kesusahan akibat berani menyakiti dan mendustakan (tidak mau maulidan) dengan Rasul Allah yang diutus kepada mereka. Ini pelajaran bagi kita bahwa demi kemakmuran, kesejahteraan, dan dijauhkan dari segala penderitaan hidup kita harus maulidan dengan cara menegakan dan mengamalkan semua ajaran Islam dan itu tidak cukup hanya dengan mengadakan pengajian dan marhabanan. Mempelajari dan melaksanakan semua ajaran Rasulullah lebih tepat disebut maulidan daripada marhabanan atau tahlilan.

Maka untuk mengembalikan kemanusiaan manusia (Insaniatul Insan), stabilitas dan keutuhan bangsa kita dituntut untuk mereaktualisasi nilai-nilai maulid dengan cara mengembangkan pengajaran dan pembelajaran serta pengamalan syariat Islam secara benar dan proposional seperti yang terjadi pada masa Rasulullah. Karena sesungguhnya kehidupan kita saat ini telah berada di daerah yang gelap karena jauh dari nur Muhammad. Untuk itulah kita dituntut untuk mereaktualisasikan semangat dan nilai-nilai maulid sepanjang hidup kita.

*) Pengasuh Ponpes Alhikmah 2 Brebes, Jawa Tengah.

sumber:http://www.alhikmahdua.com/view_serambi.php?page_detil=5

No comments yet

Tinggalkan komentar