Lanjut ke konten

Pembenaran

Juli 3, 2008

A. Muntaha Afandi

Perbedaan hal biasa dalam Islam. Dan agama ini menghargainya, seperti kata kalimat hikmah, ”Ikhtilaf al a’immah rahmatun lil ummah, perbedaan para imam menjadi rahmat bagi ummat.” Sebaliknya, Islam tidak mengajarkan untuk merasa benar sendiri (truth claim). Ironisnya, banyak kalangan (baca: kelompok) yang merasa bahwa tiket masuk surga hanya akan diberikan pada mereka, yang lain haram. Lebih ironis lagi, dalam upaya pembenaran terhadap doktrin yang mereka anut, kelompok ini tanpa malu memelintir suatu dalil (hadits dan Alquran).

Sutau malam, setelah shalat Isya, saya duduk santai di atas ranjang. Seperti biasa, mengisi malam liburan agar waktu tidak mubadzir, saya membaca buku-buku ringan. Dari beberapa koleksi buku yang ada, saya tertarik membaca kisah wali nan sembilan. Cerita kesembilan penyebar Islam di pulau Jawa itu terekam dalam majalah Tempo, edisi khusus dengan tema: Wali Songo: Siar Panjang tanpa Pedang.

Saat sedang hanyut mengikuti periwayatan orang-orang suci dengan bahasa sastrawi itu, seakan saya berada di tengah-tengah mereka, teman saya berkunjung. ”Walaikumsalam… Tafadhal ijlis hina, silahkan duduk di sini,” kata saya menajawab salamnya dan mempersilahkan dia duduk disamping saya.

Sin taqra’, ya shadiqi (apa yang sedang kamu baca, temanku),” tanyanya sambil mengambil majalah ditangan kananku.

Qara’tu qishshota auliya al tis’ah (saya membaca kisah Wali Songo),” jawabku. ”Mereka penyebar agama Islam di Indonesia,” lanjutku.

Jayyid (bagus),” jawab temanku.

Ia terus membuka perhalaman. Tentu saja tidak membacanya sebab ia tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia hanya melihat gambar setiap halaman. Tiba-tiba!!! Dia bagai disengat api. Ia menanyakan foto ”aneh” pada majalah yang terbit pada tahun ”jebod” itu. Setelah saya melihat gambar yang dimaksud, ternyata foto peziarah di makam Sunan Kali Jaga. Mereka membaca Quran di dekat kuburan sang ”wali kejawen.” Ternyata, foto itu yang membuatnya hampir jantungan.

Hadza dhallun… hadza bid’ah, ini sesat… bid’ah,” katanya.

Akhirnya, liburan malam itu saya isi dengan diskusi tentang sesat dan apa yang dimaskud bidah: dhalalah, hasanah, dll. Diskusi kami merembet sampai jauh menyeberang dari pembicaraan awal tentang ziarah kubur dan bidah, sampai hal-hal lain. Teman saya menyitir sabda nabi, ”Ma ra’ahu muslimu hasanan, fahuwa indallahi hasanun, setiap hal yang menurut orang Islam baik, maka ia pun baik di mata Allah.”

Mengomentari riwayat hadits yang ia bacakan, sang sahabat mengatakan bahwa hadits tersebut dha’if. Dalam musthalah hadits, hadits dha’if tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum.

Kalau tidak percaya silahkan cari di perpustakaan, katanya dengan nada penuh tantangan. Namun, ketika saya tanya nama kitab dan ruangan kitab itu berada, dia menjawab enteng saja, ”Pokonya ada. Cari saja, pasti ketemu.”

”Yang benar saja… mencari satu-persatu. Di perpustakaan ada ratusan atau mungkin ribuan kitab di sana, bagaimana mungkin saya mencari satu persatu. Kamu membaca atau tidak,” sambung saya setengah protes.

Sehingga, menurutnya, salah besar (saya ogah menirukan kalimat teman saya itu: sesat) jika kaum muslim melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan nabi. Bidah. Setiap bidah tempatnya di neraka (?). Karena hadits tersebut dha’if.

Benarkah riwayat hadits di atas dha’if? Beberapa hari kemudian, saya melacaknya. Saya mencari. Tidak ketemu. Lalu, saya teringat ketika ngaji kitab Fara’id Al Bahiyah (kaidah fikih), di Lirboyo, salah satu kaidahnya berbunyi Al ‘Adah Muhakkamah, dan kaidah ini berpijak pada hadits tersebut.

Maka, saya melangkahkan kaki ke ruangan yang menyimpan kitab syariah. Saya langsung mengambil kitab Asbah Wa Al Nadha’ir karya Al Syuyuthi, sarah kitab Fara’id Al Bahiyah. Dan…(!!!) halaman pertama yang saya buka adalah komentar Al Alla’i. Menurutnya, ia tidak menemukan, di kitab hadits manapun, yang menyatakan riwayat hadits ini marfu’. Setelah melakukan kajian yang mendalam dan cukup lama, masih menurutnya, juga tidak mendapatkan riwayat yang dha’if.

Dalam kitab Asbah, riwayatnya disebutkan hasan. Dan, hadits hasan sama dengan hadits shahih. Dalam arti bisa untuk dijadikan hujjah sebagai landasan mengerjakan ibadah, dsb.[1]

Inilah pembenaran, bukan kebenaran, dari seseorang terhadap keyakinannya. Atau minimalnya pembenaran terhadap ucapan yang keluar dari mulutnya. Memaudhu’kan dalil (dalam konteks ini adalah hadits) yang hasan.

Tripoli, 03 Juli 2008

[1] Al Qosi, Muhammad Jamaluddin. Qowaid Al Tahdits min Funun Musthalah Al Hadits. Baerut: Darl Al Koutub Al Ilmiyyah. Hal. 106.

** Insyaallah bidah dan pembagiannya akan saya kupas pada resonansi berikutnya.

No comments yet

Tinggalkan komentar