Lanjut ke konten

I’rab Agama

Juli 31, 2008

Oleh: A. Muntaha Afandie

Dari ”agama tiri,” Islam menjadi agama yang disegani. Ia pernah mengontrol ”lalu-lintas” budaya dunia. Batas-batas bangsa menjadi bias. Yang ada, saat itu, hanya satu: Islam. Seiring modernisasi bahasa, peristiwa itu bisa saya sebut dengan globalisasi. Maksudnya, tidak ada sekat antar Eropa (Andalusia), Afrika (Mesir dan sekitarnya), dan Arab. Semua berada dalam satu panji: Islam.

Awalnya, Islam tidak mempunyai pengikut. Ia disebarkan oleh seorang ”petapa suci” yang lama menyepikan diri menjauhi realitas masyarakat jahiliyyah yang hidup buruk bagaikan srigala. Selanjutnya, istri nan setia menyatakan keimanannya. Disusul, seorang sahabat karib yang selalu mempercayai semua tingkah laku dan ucapannya, Abu Bakar, dan si bocah cerdas bernama Ali ibn Abi Thalib, pintu segala ilmu.

Mulai saat itu, Islam mendapatkan momentum penting. Dalam waktu yang singkat ia menyebar luas ke seluruh penjuru Arab. Singa Padang Pasir, Umar Ibn Khathab, membentangkan ”sayap” Muhammad sampai ke daratan Afrika. Kemudian, menyeberang ke Eropa. Adalah Thoriq Ibn Ziyyad ”kunci” Islam yang sukses membuka pintu bangsa-bangsa (baca: futuhat) sampai Andalusia dan Amr Ibn ‘Ash ke tanah Kinanah.

Dalam riwayat sejarah, Islam pernah memegang remot kontrol dunia sekaligus kiblat dalam pelbagai hal. Kebudayaan dan keilmuan, diantara contohnya. Filsafat dan seni menjadi misal lain bukti kejayaan agama ”tunggal” ini.

Detak waktu tidak pernah pernah berhenti berputar. Detik berganti menit. Menit pun di-nusakh jam. Sebagaimana ia disalin minggu. Bulan demi bulan berlalu dan tahun pun ambil bagian. Semakin lama, Islam kehilangan taringnya. Agama ini menjadi rapuh. Bukan saja tidak berdaya melawang rongrongan dari luar, Islam tidak berdaya mengatasi masalah internal. Dan, memang kenyataannya duri dalam daging lebih berbahaya dan sulit terdeteksi, tiba-tiba virusnya sudah menjangkit keseluruh tubuh.

Saat ini, Islam bagaikan bara yang menyala. Bergejolak di dalam. Secara kuantitias meruah tapi nol dalam kwalitas. Pertikaian dan klaim kebenaran antar aliran menjadi realitas yang tidak bisa dielakkan. Islam hanya ribut dengan gejolak di dalam.

Peristiwa runtuhnya Turki Utsmani disebabkan oleh enemy of interior menjadi contoh yang menyedihkan betapa umat Islam sangat lemah. Dalam berbagai literatur, Kemal Ath-Taturkh tercatat sebagai mobilisator utama yang meruntuhkan dinasti Islam terakhir di dunia itu. Ia tidak hanya menghapus khilafah Islam. Lebih dari itu, ajaran Islam pun diganti dengan doktrin sekuler. Agama menjadi hak personal. Setiap individu bebas melakukan yang ia mau. Tidak ada seorang pun yang berhak mencampuri urusan orang lain.

***

Alferd pernah mengeluarkan stateman bahwa semua yang ada pasti melalui proses. Maka, agama pun sudah pasti berproses. Sebagai contoh Islam. Bila diruntut proses yang dilalui Islam persis urutan irab dalam ilmu nahwu: rafa, nasab, jazm, dan hafd.

Dari riwayat singkat di atas sedikitnya, menuruut saya, Islam sudah melewati tiga i’rab: yaitu pertama, ”rafa.” Maksudnya, Islam mulai mendapatkan momen. Dimana saat itu, kaum Quraish belum mengenal peradaban. Mereka menyembah Tuhan yang bernama Lata dan Udza. Tidak bisa dipungkiri, pada saat itu, ajaran nabi ditolak keras. Bahkan orang-orang yang loyal padanya harus menerima kenyataan pahit, disiksa tanpa pri kemanusiaan. Kafir Makkah juga berkali-kali melakukan makar untuk membunuh nabi Saw.

Namun, dengan keteguhan hati dan jiwa seoarang pemimpin, yang oleh Michael Hart disebut sebagai orang teristimewa dalam sejarah, nabi bisa mengatasi semua kendala itu. Rumus paling jitu yang mengantarkan beliau ke gerbang kesuksekan ialah nabi melakukan konsolidasi (dhommah) dan menyediakan waktu dengan para sahabatnya untuk berkumpul.

Kedua, ”nasab.” Tanda i’rab ini adalah ”fathah.” Artinya, pada masa itu, Islam mulai mengokohkan eksistensinya. Periode ini dimulai setelah rasul hijrah ke Yatsrib (sekarang Madinah).

Kedatangan Muhammad Saw bagaikan cahaya yang menerangi malam nan gelap gulita. Dengan hati riang pun gembira penduduk Tatsrib menyambut kedatangannya beserta rombongan dengan dendang lagu nan indah, thola’al badru alaina… Dari Madinah nabi memulai membuka diplomasi (fathah) dengan negara tetangga. Penaklukkan Makkah berlangsung lancar tanpa tumbal nyawa dan banjir darah. Islam benar-benar agama rahmat bagi umat dan kosmos.

Sikap Islam yang opensif membawa keberuntungan besar, yakni kokohya eksistensi Islam dalam percaturan dunia. Periode ini saya sebut nasab. Apalagi setelah daulah-daulah Islam mulai bermunculan, misalnya, di Irak dan Andalusi. Istana merah, di Granada, sebagai saksi sejarah yang tidak bisa dielakkan.

Akan tetapi, seiring waktu Islam mulai mengalami kemunduran. Andalusia nan megah telah tiada. Turki Ottoman, daulah Islam terakhir, hancur tidak tahan menahan gempuran dari luar dan dalam. Dari luar bangsa Barat yang sejak lama menaruh dendam terhadap Timur (baca: Islam) tidak pernah lelah untuk menghancurkan ”jimat” Muhammad Saw terakhir itu. Bagi mereka, kekuatan Islam satu-satunya terletak pada dinasti Utsmaniyyah. Sedangkan, dari dalam Kemal At Taturk menjadi duri dalam tulang (amil khafd) bagi penguasa Turki Ottoman.

Karena kemasukan amil khafd, yang berupa sekulerisme, sudah pasti (dan tidak bisa dipungkiri lagi!!!) Islam harus dibaca ”jar.” Yang artinya Islam sudah berada di nadi terendah. Ia sudah tidak memiliki peran yang penting bagi laju peradaban dunia. Bahkan sebaliknya, Islam menjadi konsumen. Awalnya penontrol (subjek), berubah menjadi objek (dikontrol).

***

Saat Islam kemasukan ”amil jar” Barat mulai bangun dari tidur panjangnya. Dan, saat ini kita menyaksikan fenomena yang– menurut saya– ironis-kontradiktif. Dimana Islam sebagai pionir bagi lahirnya ilmu teknologi dan kroni-kroninya malah terbelakang dalam pelbagai bidang. Sedangkan, Barat yang tergolong hijau (dibandingkan Islam) berada di puncak kejayaan yang sulit kita pungkiri.

Sekarang yang kita saksikan saat ini adalah persaingan antara blok Barat-Timur. Sebutan Barat dihadiahkan bagi negara yang maju dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan kehidupan yang rasional serta sekuler. Dan Timur ialah negara yang terbelakang dari Barat. Itu dalam wilayah iptek. Lain lagi dalam bidang ekonomi. Pada bidang terakhir ini persaingan terjadi antara Selatan dan Utara. Utara untuk negara yang maju ekonominya dan Selatan sebaliknya.

Yang perlu digaris bawahi, pembagian Barat-Timur dan Utara-Selatan tidak berdasarkan pertimbangan letak geografis. Sebaliknya, maju dan mundur yang menjadi timbangan. Contohnya, Maroko yang berada di barat dimasukkan ke dalam kelompok Timur, Jepang yang berada di timur dikelompokkan ke Utara. Sebaliknya, Australia yang terletak di Utara dimasukkan kelompok Selatan (Yunasar Ilyas, 2004).

Saya selalu bertanya pada diri sendiri, apakah Islam yang sedang dibaca kasrah (dipandang rendah oleh dunia) bisa kembali dibaca rafa (bangkit dari keterpurukannya)? Bisakah agama ini menahan gempuran globalisasi yang terus menggerus? Iseng-iseng saya pun sering menjawab sendiri pertanyaan itu dengan; ada pada peran generasi yang bermental islami dan beramal sesuai firman ilahi.

Bukankah munculnya ilmuwan-ilmuwan Islam, misalnya, Al Ghazali, Ibn Ruyd, Ibn Tuhfail, Al Farobi, Al Khuwayrizmi, adalah segelintir orang dari panji Islam yang selalu beramal berdasarkan firman ilahi dan bermental islami.[]

No comments yet

Tinggalkan komentar