Lanjut ke konten

Terpesona Leptis Magna

Juli 31, 2008

Libya— Pagi itu puluhan mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Kulliyah Ad Dakwah Al Islamiyyah Al Alamiyyah, Tripoli, Libya rihlah (tamasyah, red) ke reruntuhan Leptis Magna, istana Romawi di Lubdah, Libya. Mereka takjub saat melihat puing-puing kota yang dibangun pada awal abad ke sepuluh sebelum masehi. Meski tinggal puing-puing saja, tapi masih menyisahkan keindahan dan kekokohan bangunan yang terbuat dari batu itu. Apalagi setelah mereka melihat replikanya yang tersimpan di dalam museum.

Mereka tidak hanya melihat reruntuhan kota nan tua. Tetapi, kesempatan tersebut juga dipergunakan untuk melihat barang-barang bersejarah yang tersimpan di dalam museum. Mulai bulir tasbih sampai para dewa, semua lengkap tersimpan di dalamnya. Senapan peninggalan Italia dan pedang pusaka Muammar Qadhafi ikut melengkapi isi museum, termasuk miniatur tenda khas tempat tinggal suku Bar-bar.

”Melalui rihlah ini saya ingin agar mahasiswa baru khususnya dan secara umum anggota KKMI (Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia, red) bisa mengenal Libya lebih dekat,” kata Citrawan, panitia rihlah pada pagi nan cerah itu.

Dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah, lanjut Citrawan, diharapkan mereka menyelami keindahan dan kemajuan kebudayaan Libya di masa lampau.

Setelah puas melihat dan menyelami kota yang dibangun oleh Fainikiyah, suku arab yang suka mengembara sejak abad ke- 12 SM, puluhan anak bangsa melanjutkan perjalanannya ke pantai Khumus. Untuk apalagi kalau bukan ”cuci otak” setelah sekian bulan berkutat dengan diktat. Berbagai game meramaikan dan menarik perhatian warga pribumi yang sedang nyantai di sana.

Sebut saja, misalnya, lomba mencari harta karun, tarik tambang, kejar-kejar di laut, dan masih banyak lagi. ”Pokoknya seru,” kata Irfan Hilmi, diamini oleh Hardy.

Adzan ashar pada, Sabtu (5/7), menggiring sembilan puluh anak muda untuk kembali ke kampus mereka. Tiga mini bus mengantarkan mereka kembali ke kampus. Setengah jam sebelum adzan maghrib berkumandang mereka tiba di tempat tujuan, setelah menempuh perjalanan sejauh sembilan puluh kilo meter, selama dua setengah jam.

***

Abad ke dua belas sebelum masehi menjadi masa panjang bagi kaum Fainikiyah, sekelompok orang Arab yang suka mengembara. Mereka adalah para pedagang yang selalu berpindah tempat. Sampai akhirnya mereka menemukan Lubdah. Maka, pada abad ke sepuluh suku Fainikiyah mulai membangun kota Lubdah. Pembangunan kota yang terletak di tepi pantai itu berjalan cepat. Setidaknya, hal itu, ditopang oleh penghasilan dari tanahnya yang subur dan terjalinnya hubungan baik antara mereka dengan penduduk asli.

Dalam sejarah tercatat, Lubdah mengalami kemajuan peradaban pada masa kekuasaan Aleksander Ceprus (235 M). Pada saat itu, penduduk Lubdah sebanyak delapan ribu jiwa, terdiri dari orang Yunani, Libya, dan Roma. Di bawah kekuasaan Ceprus peradaban Lubdah benar-benar mengalami kemajuan yang pesat. Tripoli (sekarang ibu kota Libya) saja, waktu itu, tidak bisa mengungguli kemajuan Lubdah (Ahmed, Dr. Thahir. Tarikh Al Fathi Al Arabi fi Libya. Libya: Al Darl Al Arabiyah Lil Kitab).

Sejarah meriwayatkan, Leptis Magna (baca: Lubdah) menjadi bagian dari kekaisaran Romawi untuk pertama kalinya pada akhir abad ke dua sebelum masehi. Saat itu, tidak sedikit pedagang dan banker Italia yang datang ke Lubdah. Hubungan pedangan juga terjalin dengan Alexandaria di timur. Prasasti Arsinoe membuktikan adanya import beras di Lubdah.

Bukan hanya suku Fainikiyah yang tertarik pada (kekayaan) Lubdah, bangsa Romawi pun sama. Sejarah mencatat kekayaan kota ini. Ia kota penghasil minyak zaetun. Namun, sayang kekayaan tanahnya tidak bisa dinikmati oleh warga pribumi. Melainkan 3 juta pound minyak zaetun harus dipersembabhkan pada Kaesar Jelius sebagai upeti atas bantuan yang ia berikan pada Lubdah saat terjadi perang sipil. Minyak sebanyak itu hasil panen satu juta pohon zaetun yang menjadi persyaratan raja.

Setiap kejadian pasti ada hikmahnya, mungkin itu kalimat yang tepat untuk mengomentari peristiwa perang sipil di Lubdah. Pascaperang, sebagai pusat perniagaan, Lubdah mendapatkan keuntungan yang berlipat. Namun, sekali lagi, bukan warga pribumi yang menikmatinya. Melainkan Romawi di bawah komando Kaisar Augustus mengeksploitasi kekayaan bumi hijau (sebutan Libya saat ini).

Pada saat berkuasa, Augustus mewajibkan setiap daerah untuk membayar upeti sebagai kesejahteraan pascaperang sipil. Upeti itu juga diperuntukkan bagi kesejahteraan Afrika pada umumnya, dan pengiriman pasukan Augus yang ketiga. Peristiwa ini terjadi sekitar abad ke 30 SM, di Theveste.

Meskpun saat itu Lubdah masih belum bisa dikatakan sebagai tempat yang menenterakam, bukanlah suatu kebetulan ungkapan sang pujangga Virgil yang mengatakan bahwa Afrika adalah terra triumphis dives, sebuah kota yang kaya dengan kemenangan (Aenid,4.37-38). Berbagai kemenangan terjadi pada tahun 46, 34, 28, 21, dan 19 ketika Lucius Cornelius Balbus memasuki Fezzan dan berhasil mengalahkan suku Garamantes. Kota-kota mereka menjadi pusat perdagangan yang memiliki peranan penting sebagai penghubung Subsarahan Afrika dengan Mediteranian.

Sejarah tidak akan pernah berhenti selama umat manusai masih bernyawa. Saat Kaisar Augustus berkauasalah pemberontakan terjadi di mana-mana. Diantaranya adalah pemberontakan yang dimotori oleh Quirinius. Sampai akhirnya Cornelius Cossus Lentulus mengutus beberapa orang untuk berdamai setelah mengalahkan Gaetulians. Perang berakhir, jalan-jalan dibangun untuk mempasilitasi gerakan pasukannya, misalnya jalan yang menghubungkan Leptis dengan Oea.

Secara resmi kota ini memiliki simbol Civitas libera et immunis yang berarti sebuah kemungkinan untuk merdeka dan tidak ada kewajiban untuk membayar pajak. Akan tetapi, simbol ini belum bisa diterapkan sebagaimana mestinya karena pada kenyataannya Leptis Magna masih saja mangambil upeti. Contoh yang tidak bisa dipungkiri, ia masih harus menyerahkan 3 juta pound minyak zaitun sebagai pajak negara.

Penggalian pelbagai jenis batu mulai dilakukan, bangunan baru pun mulai dikerjajkan. Satu diantaranya adalah Macellum (pasar). Prasasti pengabadikan pembangunan itu dibiayai oleh Annobal Tapapius Rufus, gabungan dari nama Punic dan Roma, yang terkenal dengan keluarga Tabahpi dalam bahasa Latinnya. Prasasti itu (dibuat sekitar tahun ke-8 SM) kemungkinan prasati tertua dalam bahasa Latin yang ada di Lubdah.

Tabahpi bukan hanya terkenal sebagai donator utama pembangunan pasar ini. Ia juga seorang arsitek unggul pada masanya. Kemasyurannya melebihi Yatonbal yang dijuluki sebagai the builder ketika itu. Tidak hanya itu, ternyata ia juga yang telah mendanai pembangunan tiater yang selesai dibangun pada abad 1-2 CE.

Pembangunan terus berlangsung. Sampai Chalcidium dibangun di akhir pemerintahan Augustus. Pasar tertua pun, Punic, direnovasi dengan pemasangan ubin. Namun tetap mempertahankan bentuk segi empat kuno. Tidak ketinggalan kuil. Maka, dibangunlah kuil baru. Menurut sejarah, ternyata satu diantara kuil-kuil yang ada di Leptis dipersembahkan khusus untuk Shadrapa (sekarang dikenal dengan nama Dionysius). Tidak hanya itu, kuil yang lain pun ternyata dibangun khusus untuk Melk Ashtart (Hercules).

Masa pemerintahan Tiberius (14-37) merupakan saksi bisu atas pembrontakan yang dikepalai oleh Tacfarinas. Kepala suku bangsa Numidian ini mengadakan aksinya pada tahun ke-17 dan mendapatkan bantuan dari para petani dan pengembara yang merasa tertindas akibat perluasan kekuasaan untuk kota kota Tripolitania. Secara serentak mereka mengadakan pengrusakan disepanjang perbatasan gurun pasir di Roma. Di lain pihak, pasukan ketiga Augusta merupakan orang-orang yang paling sulit untuk mereka hadapi karena ternyata pasukan ini diperkuat oleh VIIII Hispana, yang di kepalai oleh Publius Cornelius Scipio. Meskipun demikian, kelengkapan pasukan ini belum mampu melenyapkan pemberontakan Tacfarinas dalam tempo yang singkat, karena mereka mampu bertahan disana hingga tahun ke-24.

Dimasa pemerintahan Gaius Rubellius Blandus, yang menikahi cucu kaisar sekaligus penanggung jawab terhadap pembangunan kuil baru tepatnya di gedung teater yang khusus dipersembahkan untuk Ceres Augusta, para penduduk Leptis merasa berterima kasih mereka terhadap kekaisaran Romawi dengan mempersembahkan (10) sebuah patung untuk Gaius Gavius Macer, seorang panglima perang, (2) memperluas kuil Augustus dan Roma, (3) menghadiahkan sebuah monument untuk Augusta Salaturis, (3) membuat patung kehormatan Tiberius, dan (4) meratakan beberapa jalan sebagai bukti akan daerah kekuasaan mereka. Pembangunan itu didanai dari hasil penyitaan kawasan yang telah diduduki kawanan pemberontak suku pribumi yang dikepalai oleh Tacfarinas.

Pembangunan kota Leptis dengan corak khasnya yang bergaya Romawi terus berlangsung. Bangunan bangunan baru bermunculan, berbagai monumen hadir sebagai persembahan untuk kekaisaran Romawi, dan pembayaran pajak terus dilakukan. Penduduk Leptis banyak yang melakukan hubungan perdagangan dengan para pedagang dan banker dari Italia. Sehingga, terjadilah percampuran bahasa yang melahirkan penggabungan berbagai nama.

Sejarah Lubdah tidak berhenti sampai di sini. Pada tahun 644 M panji-panji Islam masuk ke sana, saat itu Lubdah sedang merana. Tidak ada penguasa yang meng-handle penduduknya. Sekarang, Lubdah masuk ke dalam wilayah Libya. ”Negeri muslim miyah miyah, seratus persen beragama Islam,” kata dosen saya.[]

No comments yet

Tinggalkan komentar